Bulan Muharram adalah bulan pertama di tahun Hijriah dan termasuk bulan-bulan suci yang empat yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rojab.
“Sesungguhnya bilangan
bulan-bulan di sisi Allâh itu ada dua belas bulan sebagaimana yang Allâh
tetapkan pada saat Ia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan
yang haram (suci). Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kalian
menganiaya diri kalian sendiri di bulan-bulan suci ini.” (QS at-Taubah (9) :
36)
“Sesunggunya waktu itu beredar
sebagaimana mestinya seperti saat Allâh menciptakan langit dan bumi. Setahun
itu ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang haram (suci). Tiga
bulan di antaranya adalah saling berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan
Muharram. Lalu yang satu adalah Rajab-nya suku Mudhar, yang berada diantara
Jumâdil (âkhir) dan Sya’bân.” (HR Bukhari 3197 dan Muslim 1679)
Diantara keutamaan bulan muharram
adalah Rasulullah menamai bulan ini dengan Syahrullâh (bulannya Allâh). Dan
dilekatkannya bulan ini dengan nama Allâh adalah sebagai bentuk pengagungan dan
pemuliaan. Hal ini menunjukkan kemuliaan dan keistimewaannya. Karena
sesungguhnya Allâh tidak akan melekatkan nama-Nya kecuali terhadap
makhluk-makhluk-Nya yang spesial. Sebagaimana Nabi Muhammad, Ibrâhîm, Ishâq,
Ya’qûb dan nabi-nabi yang lain dinisbatkan terhadap ‘ubudiyah (penghambaan
kepada-Nya).
Sejumlah ulama berpendapat bahwa bulan Muharram itu adalah asyhurul hurum (bulan-bulan suci) yang paling utama.
Imam al-Hasan al-Bashrî
Rahimahullâhu berkata : “Bulan-bulan suci yang paling utama adalah bulan Allâh
al-Muharram.” Beliau Rahimahullâhu juga berkata : “Sesungguhnya Allâh membuka
tahun dengan bulan suci dan menutupnya juga dengan bulan suci. Tidak ada bulan
di dalam setahun yang lebih agung di sisi Allâh setelah bulan Ramadhan, seperti
bulan Muharram.” (Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 34)
Sebaik-baik bulan Muharram
terletak pada sepuluh hari awalnya. Abû ‘Utsmân anNahdî Rahimahullâhu berkata :
“Para salaf -sahabat- mengagungkan tiga macam sepuluh hari, yaitu : sepuluh
hari akhir Ramadhan, sepuluh hari awal Dzulhijjah dan sepuluh hari awal
Muharram.” (Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 34)
Allâh melarang menganiaya diri
sendiri di bulan-bulan suci, sebagaimana dalam firman-Nya :
“Maka janganlah kalian menganiaya
diri kalian sendiri di bulan-bulan suci ini.” (QS atTaubah (9) : 36)
Maksudnya, berbuat aniaya di
bulan ini lebih keras dan lebih nyata dosanya dibandingkan bulan-bulan lainnya,
oleh sebab kemuliaan dan keagungan bulan ini.
Qotâdah Rahimahullâhu berkata, “Sesungguhnya
berbuat zhalim (aniaya) di bulan-bulan haram ini adalah lebih besar dosa dan
balasannya dibandingkan bulanbulan lainnya. Apabila kezhaliman di setiap
keadaan itu adalah besar (dosanya), namun Allâh jadikan kezhaliman di beberapa
kondisi lebih besar lagi (dosanya) sesuai dengan kehendak-Nya.” (Tafsîr
ath-Thobarî (XIV/238) dan Tafsîr Ibnu Katsîr (IV/148).)
Dianjurkan untuk memperbanyak
puasa di bulan yang mulia ini. Di dalam hadits disebutkan :
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah puasa Muharram, dan sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah
sholat malam.” (HR Muslim : 1163)
Ibnu Rojab al-Hanbalî
Rahimahullâhu mengatakan : “Hadits ini secara terang menjelaskan bahwa puasa
sunnah yang paling utama setelah puasa Ramadhan, adalah puasa pada bulan Allâh
Muharram.” (Lathâ’if al-Ma’ârif hal. 33)
Hal ini difahami bahwa
keutamaannya atas seluruh puasa sunnah yang bersifat mutlak. (bukan puasa yang
bersifat mu’ayyan/spesifik seperti Arofah atau yang semisal.)
Dianjurkannya untuk memperbanyak
berpuasa di bulan Muharram itu, tidaklah difahami berpuasa selama sebulan
penuh. Karena ada hadits yang shahih yang menerangkan bahwa Nabi tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali
di bulan Ramadhan saja. Dan Nabi tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan
(selain ramadhan) melebihi bulan Sya’ban.
Para ulama berbeda pendapat
tentang alasan Nabi lebih memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban melebihi
Muharram, padahal secara tegas beliau menyatakan bahwa puasa paling utama
setelah Ramadhan adalah puasa Muharram.
Maka jawabannya adalah : Sebagian
ulama berpendapat bahwa Nabi mengetahui keutamaan puasa Muharram adalah pada
akhir hayat beliau sebelum beliau benar-benar memungkinkan untuk
melaksanakannya. Atau bisa jadi juga beliau memiliki udzur (alasan) yang mencegah
beliau untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, seperti karena safar, sakit
atau selainnya. (Lihat : Syarh Shalih Muslim karya Imam Nawawi (VIII/37 dan 55)
dan al-Majmû’ (VI/387)
Hari Asyuro adalah hari kesepuluh
bulan Muharram menurut mayoritas ulama baik salaf maupun kholaf (kaum
belakangan), dan inilah yang ditunjukkan oleh zhahir hadits dan konsekuensi
dari penggunaan lafazh tersebut. Ini pula yang sudah dikenal oleh para pakar
bahasa. (Syarh Shalih Muslim karya Imam Nawawi (VIII/12) dan al-Majmû’ (VI/383))
Asyuro adalah nama Islami yang
tidak diketahui sebelumnya di masa Jahiliyah. (Masyâriqul Anwâr karya Qadhi
Iyâdh (II/102) dan Kisyâful Qinâ’ (II/338).
Dianjurkan dengan amat sangat untuk berpuasa pada hari Asyuro, karena ada hadits yang menyatakan,
“Berpuasa para hari Asyura,
sungguh saya berharap kepada Allâh agar menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR
Muslim : 1162)
Puasa Asyuro itu menggugurkan seluruh dosa-dosa kecil, bukan menggugurkan dosadosa besar. Apabila didapati padanya ada dosadosa kecil, maka akan digugurkan. Namun jika tidak didapati adanya dosa kecil apalagi besar, maka akan ditetapkan kebaikan baginya dan diangkat derajatnya. Namun apabila didapati dosa besar tanpa disertai dosa kecil, maka diharapkan dapat meringankan dosa besarnya. (Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi (III/113 dan VIII/51) dan al-Majmû’ (VI/382))
Selayaknya seseorang membiasakan
keluarga, anak-anak dan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya untuk
berpuasa pada hari Asyuro, dan bangun sahur untuk puasa.
Dari Rabî’ bintu Mu’awwidz beliau
berkata mengenai puasa Asyuro (puasa Asyuro ini dulunya diwajibkan sebelum
puasa Ramadhan), "Setelah itu kami selalu berpuasa dan kami juga mendidik
anak-anak kecil kami untuk berpuasa dan kami sediakan untuk mereka semacam alat
permainan terbuat dari bulu domba, apabila seorang dari mereka ada yang menangis
meminta makan maka kami beri dia permainan itu. Demikianlah terus kami lakukan
hingga tiba waktu berbuka" (HR Bukhari : 1960 dan Muslim : 1136)
Dianjurkan untuk berpuasa pada
hari ke-9 (Tasu’a) dan ke-10 (Asyuro) sekaligus, untuk membedakan diri dari
Yahudi dan Nasrani.
Dari Abdullâh bin ‘Abbâs
Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata : “Ketika Rasûlullâh berpuasa pada hari Asyura
dan memerintahkan para sahabat juga berpuasa, lalu para sahabat berkata : “Wahai
Rasûlullâh, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani…” Lalu
Rasûlullâh berkata, “Kalau begitu tahun depan kita berpuasa di hari kesembilan
(Tasu’a).” Namun Rasûlullâh tidak sampai tahun depan beliau sudah wafat. Di
dalam riwayat lain disebutkan : “Sekiranya saya masih hidup hingga mendatang,
niscaya saya benar-benar akan bepuasa pada hari kesembilan.” (HR Muslim : 1134.)
Barangsiapa yang terlewatkan
berpuasa pada hari kesembilan, maka ia disyariatkan untuk berpuasa pada hari
kesepuluh dan kesebelas, dalam rangka menyelisihi Yahudi.
Tidak mengapa berhati-hati saat
puasa Asyuro karena khawatir hilal yang belum sempurna (kurang), atau ada
keraguan tentang masuknya bulan Muharram, atau khawatir keliru (sehingga hari
kesembilan itu sendiri adalah hari kesepuluh), sebagai bentuk kehati-hatian
untuk berpuasa sehari sebelumnya (tanggal 10 muharram) dan sehari setelahnya.
Puasa Asyuro menurut para ulama,
memiliki tiga tingkatan :
PERTAMA : Berpuasa 3 hari, yaitu
pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Ada riwayat tentang hal ini namun lemah. Ada
pula riwayat yang menunjukkan bahwa para salaf mengamalkan hal ini sebagai
bentuk kehati-hatian. (Lathâif al-Ma’ârif hal 52)
KEDUA : Berpuasa pada tanggal 9
dan 10 Muharram. Yang seperti ini banyak disebutkan di dalam hadits dan
terdapat sunnahnya.
KETIGA : Hanya berpuasa pada
tanggal 10 Muharram saja, maka ini boleh dan tidak dibenci.
Apabila hari Asyuro jatuh
bersamaan dengan hari Jum’at atau Sabtu, maka tidak mengapa berpuasa di hari
itu saja dan hal ini tidak dibenci (makruh). Karena puasanya dilakukan pada
hari-hari yang memang disyariatkan berpuasa, bukan lantaran itu hari Jum’at
atau Sabtu. (Fathul Barî (IV/234), Fatâwâ Ibnu Bâz (XV/414)dan Fatâwâ Ibnu
‘Utsaimîn (XX/58).
Orang yang masih memiliki hutang
puasa Ramadhan, maka tidak mengapa ia tetap berpuasa Asyuro dengan niat puasa
Tathowwu’ (Sunnah), lalu ia mengganti hutang puasanya setelah itu. Karena puasa
sunnah itu diperbolehkan meski masih ada hutang puasa Ramadhan, menurut
pendapat ulama yang lebih kuat. Karena puasa Asyuro itu adalah puasa spesifik
yang dapat terlewatkan dengan berlalunya hari, sedangkan mengganti (qodho’)
puasa itu lebih luas waktunya.
Orang yang masih memiliki hutang
puasa Ramadhan, lalu ia berpuasa Asyuro dengan niat puasa qodho (mengganti
hutang puasa), maka puasa qodho’-nya tetap sah. Diharapkan pula ia memperoleh
pahala Asyuro menurut pendapat sebagian ulamadan ia memperoleh pahala puasa
Asyuro disamping qodho’. Inilah yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
Rahimahullâhu. (Fatâwâ Ibnu ‘Utsaimîn (XX/48))
Namun yang lebih utama adalah ia
mengganti hutang puasanya tersebut di selain hari Asyuro, dan ia berniat puasa
Asyuro dengan niat puasa sunnah.
Diperbolehkan berpuasa Tasu’a
(tanggal 9 Muharram) dan puasa pada tanggal 11 Muharram dengan niat mengganti
hutang puasa Ramadhan, sedangkan puasa Asyuro-nya tetap dengan niat puasa
sunnah. Maka ia akan memperoleh pahala qodho dan pahala sunnah sekaligus.
Bagi orang yang sedang safar
(musâfir), maka tidak mengapa ia tetap berpuasa Asyuro asalkan tidak sampai
memberatkan dirinya.
Tidak disyariatkan bagi wanita
haidh, nifas atau sakit mengganti puasa Asyuro yang ia lewatkan, karena puasa
ini bersifat khusus di hari tertentu saja, yang mana hukumnya pun akan hilang
seiring dengan berlalunya hari tersebut. (Fatâwâ Ibnu ‘Utsaimîn (XX/43).
Orang yang memiliki udzur
(halangan) untuk berpuasa pada hari Asyuro, seperti sakit, haidh atau menyusui,
sedangkan ia terbiasa berpuasa Asyuro setiap tahunnya, maka ia mendapatkan
pahala atas niatnya. Di dalam sebuah hadits disebutkan,‘’Apabila seorang hamba
sedang sakit atau safar, ditetapkan baginya (pahala) seperti ketika dia beramal
ketika bermukim dan sehat.’’ (Fatâwâ Ibnu ‘Utsaimîn (XX/43)
Dahulu puasa Asyuro itu adalah
puasa yang diwajibkan sebelum puasa Ramadhan, kemudian dihapuskan kewajibannya
menjadi sunnah.
Dari Ibunda kaum mu’minin beliau
berkata : “Dahulu Rasulullah memerintahkan puasa Asyuro sebelum diwajibkannya
puasa Ramadhan. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, maka yang berkeinginan puasa
Asyuro silakan berpuasa, yang ingin berbuka juga silakan berbuka.” (HR Bukhari
: 1592 dan Muslim 1125.)
Di dalam riwayat lain disebutkan,
“Ini adalah hari 'Asyura' dan Allah belum mewajibkan puasa atas kalian dan
sekarang aku sedang berpuasa, maka siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa
yang tidak mau silakan berbuka (tidak berpuasa). (HR Bukhari : 2003 dan Muslim
1129)
Hari Arofah lebih utama daripada
hari Asyuro, karena berpuasa di dalamnya dapat menggugurkan dosa dua tahun. Ada
yang berpendapat bahwa hikmahnya adalah : Hari Asyuro itu disandarkan kepada
Nabi Mûsâ ‘alaihis Salâm sedangkan hari Arofah disandarkan kepada Rasulullah. Maka
Arofah itu termasuk kekhususan syariat kita, karena itulah ia lebih utama dan
ditambah lagi dengan keberkahan Rasulullah.
Adapula yang berpendapat hari Arofah itu letaknya diapit oleh dua
bulan Harom, yaitu Dzulqo’dah bulan sebelumnya dan Muharram bulan setelahnya.
Beda halnya dengan Asyuro. (Badâ`i al-Fawâ’id (IV/211) dan Fathul Bârî
(IV/249).
Ada pula yang berpendapat di hari
Asyuro, Allâh menyempurnakan nikmat kepada Musa dengan cara menyelamatkan beliau
dari musuhnya. Sedangkan di hari Arofah, Allah menyempurnakan nikmat kepada
Nabi Muhammad dengan cara menyempurnakan risalahnya. Sempurnanya nikmat di
dalam agama itu lebih besar daripada sempurnanya nikmat terhadap fisik, karena
diperolehnya keutamaan balasan (pahala) itu lebih utama daripada bentuk nikmat
lainnya. Yang satu adalah nikmat di dalam agama, sedangkan yang satu lagi nikmat
pada fisik.
Di hari Asyuro Nabi Musa dan
kaumnya diselamatkan Allâh, Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan oleh
Allâh. Untuk itulah Nabi Musa berpuasa sebagai bentuk rasa syukur beliau kepada
Allâh atas kenikmatan ini.
Di hari Asyuro pula, Rasulullah
berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa sunah, meneladani Nabi Musa ‘alaihis
Salâm.
Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs
Radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata : “Saat Nabi tiba di kota Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura. Lalu beliaupun
bertanya, “Puasa apa ini?”. Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik,
hari dimana Allâh telah menyelamatkan Bani Isrâ’îl dari musuhmusuhnya sehingga
Mûsâ pun berpuasa karenanya.” Lalu Nabi pun menimpali : “Kalau begitu kami
lebih berhak terhadap Mûsâ daripada kalian.” Lalu Nabi pun berpuasa di hari
Asyura ini dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu.” (HR.Muslim : 1130)
Mengagungkan hari Asyuro itu
sudah dikenal oleh masyakarat Jahiliyah. Mereka dahulu memuliakan hari ini dan
berpuasa serta menutupi Ka’bah di hari ini. Sebagaimana yang dituturkan oleh
ibunda kaum mu’minin, ‘Aisyah Radhiyallâhu ‘anhâ. (HR Bukhari : 1893 dan Muslim
: 1125)
Ada sebagian orang yang
membuatbuat banyak kebid’ahan di hari Asyuro. Diantaranya seperti yang
dilakukan oleh ahli bid’ah dengan menjadikan hari ini sebagai upacara kematian
atas terbunuhnya Husain Radhiyallâhu ‘anhu. Mereka jadikan hari Asyuro sebagai
hari kesedihan, meratap, mengoyak-ngoyak pakaian dan baju, menampar pipi dan
melukai diri. Perbuatan ini bukanlah bagian dari agama Allâh sedikitpun, namun
ia adalah perbuatan jahiliyah.
Di dalam sebuah hadits disebutkan,
“Bukan dari golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju
dan menyeru dengan seruan jahiliyyah.” (HR Bukhari : 1294 dan Muslim : 103.)
Seorang yang beriman itu saat
ditimpa musibah, ia bersabar, mengharap pahala dari Allâh dan rela dengan
ketentuan Allâh.
Betapa Setan mempermainkan akal
kebanyakan manusia di hari ini, dan bagaimana pula jauhnya mereka dari jalannya
orang-orang yang beriman. Diantara mereka ada yang menjadikan hari ini sebagai
hari upacara kematian dan meratap. Ada pula diantara mereka yang menjadikannya
sebagai hari perayaan dan bernyanyi-nyanyi. Ada diantara mereka yang membuat
perayaan di hari ini dengan menyediakan manisan dan makanan khusus. Ini
tentunya menyerupai (tasyabbuh) kaum Yahudi dan Nasrani di dalam memuliakan
hari ini. Semua ini termasuk bid’ah dan mengada-ada di dalam urusan agama.
No comments:
Write komentar