Ketika ada orang yang memiliki utang, ada 3 keadaan yang
disikapi berbeda,
Pertama, orang yang berutang dalam kondisi kesulitan dan
tidak mampu melunasinya. Dalam kondisi ini, Hakim tidak berhak memenjarakan
orang tersebut. Bahkan memenjarakannya termasuk kedzaliman. Allah wajibkan bagi
orang yang berutang dan kesulitan untuk melunasi, agar diberi waktu tunda.
Allah berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah:
280)
Dan percuma saja ketika orang yang tidak mampu dipenjarakan,
tetap dia tidak akan mampu melunasi. Karena itu, dia dibiarkan agar bisa
bekerja dan berusaha untuk mencicil utangnya.
Kedua, Orang yang berutang mampu bayar, sementara dia tidak
mau untuk membayar, maka dia boleh dipaksa dengan cara dipenjarakan. Jika
setelah dipenjarakan, ternyata dia tetap tidak mau bayar maka hartanya
dibekukan (al-Hajar), kemudian dijual secara paksa dan hasilnya dibagikan ke
seluruh orang yang memberi utang kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ
وَعُقُوبَتَهُ
Orang mampu yang tidak mau membayar utang menghalalkan
kehormatan dan hukumannya. (HR. Nasai 4706,
Abu Daud 3630 dan dihasankan al-Albani)
Ketiga, posisinya diragukan, apakah memiliki kemampuan
ataukah tidak. Hakim berhak menahan orang ini untuk diinterogasi. Jika bisa
dipastikan dia tidak mampu maka dia dilepaskan. Dan jika ternyata dia mampu,
maka tetap ditahan sampai dia mau melunasi utangnya.
Disimpulkan dari: Mausu’ah al-Fiqh al-Islami
No comments:
Write comments