syirkah adalah hak kepemilikan terhadap suatu yang dimiliki
oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase tertentu (yaitu kerjasama dalam
usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda).
Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari
al-Qur’ân dan as-sunnah serta ijmâ’. Dalam al-Qur’ân Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
… maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu
[an-Nisâ’/4:12]
Adapun dasar dari Sunnah, yaitu firman Allah Azza wa Jalla
yang terdapat dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ
أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berkata, “Aku adalah pihak
ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama
salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada mitranya. Apabila
diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak
melindungi)” [HR. Abu Dawud]
Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang
kafir sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam
dengan penduduk Khaibar. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ
أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam telah mempekerjakan
penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari
hasil panen tanaman dan buah.[ HR. Muslim 5/ 1551]
Dalil ketiga adalah ijma’ yaikni ulama’ kaum Muslimin telah
sepakat tentang bolehnya syirkah (perseroan), namun mereka berbeda pendapat
dalam beberapa macam jenis syirkah.
Syirkah, menurut jumhur Ulama’ dibagi menjadi dua jenis
yaitu syirkatul amlâk dan syirkatul uqûd.
1. Syirkatul amlâk yaitu kepemilikan barang secara kolektif.
Syirkatul amlâk ada dua bentuknya yaitu :
a. Syirkatul ikhtiyâr yaitu persyerikatan dalam kepemilikan
barang ( atau kepemilikan secara kolektif) yang dihasilkan oleh perbuatan dua
orang atau lebih. Misalnya :
• Dua orang atau lebih yang sepakat untuk membeli suatu
barang dengan biaya bersama. Maka kepemilikan terhadap barang itu sesuai
prosentase modal.
• Dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang,
kemudian mereka terima. Maka keduanya memiliki bagian dari barang tersebut.
Kepemilikian ini disebut syirkatul ikhtiyâr karena setiap pihak mempunyai hak
pilih dalam menentukan kepemilikan perseroan.
2. Syirkatul jabr ; yaitu kepemilikan secara kolektif
terhadap sebuah barang tanpa usaha dari pihak yang bersyerikat. Misalnya dalam
harta warisan yang didapat oleh ahli waris jika ada dua atau lebih.
Dalam dua macam syarikat ini tidak diperbolehkan bagi salah
satu pihak untuk menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa idzin dari
semua pihak yang terkait dalam persyarikatan.
2. Syirkatul Uqûd.
Syirkatul uqûd adalah aqad yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih yang bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melakukan
kerjasama usaha dengan tujuan mencari untung.
Dari pengertian ini dan juga dengan memperhatikan berbagai
bentuk kerjasama usaha perseroan (syirkah), maka dalam syari’at Islam,
perseroan ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.yaitu :
a. Syirkah Bil Amwâl (Perseroan dalam modal)
Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan
sebuah usaha guna menghasilkan keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk
yaitu:
1. Syirkatul Inân
Syirkah Inan adalah persyerikatan dua pihak atau lebih
dimana masing-masing membawa dana sebagai modal dan keahlian masing-masing
dalam sebuah usaha. Modal utama adalah uang dan keahlian. Keabsahan syikrah
jenis ini telah disepakati oleh para Ulama.
Dalam perserikatan (syirkah) ini, barang yang disertakan
sebagai modal harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung.
Nilai modal atau barang modal dari masing-masing pihak tidak harus sama.
Syirkatul Inân dibangun diatas prinsip wakâlah (perwakilan)
dan amanah (kepercayaan). Karena masing-masing pihak telah memberi kepercayaan
dan izin kepada mitranya untuk mengelola dana dalam usaha yang disepakati
tersebut. Bila telah berlangsung aqad, maka masing-masing pihak harus terlibat
secara langsung, tidak boleh diwakilkan, karena perserikatan (syirkah) ini
melibatkan badan (fisik) mereka. Namun bila semua pihak yang terlibat
bersepakat untuk menggaji seorang pegawai yang mengelola usaha itu, maka itu
diperbolehkan, tapi bukan sebagai pegawai salah pihak.
Dalam perserikatan ini, pembagian laba tergantung
kesepakatan sedangkan resiko kerugian ditanggung berdasarkan prosentase modal
masing-masing. Berdasarkan kaidah :
الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ
الْمَالَيْنِ
Laba itu tergantung kesepakatan bersama sedang kerugian
ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[ Al-Fiqhul Islâmi
wa Adillatuhu, 4/797]
2. Syirkatul Mufâwadhah
Secara bahasa al-mufâwadhah adalah al-musâwah (persamaan).
Dinamakan al-mufâwadhah karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam
perserikatan ini harus sama.
Syirkatul mufâwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian
serta agama harus sama kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula.
Menurut Hanafiyah dan Zaidiyyah bahwa dalam syirkah ini, masing-masing pihak
boleh melakukan keputusan atau kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta
pertimbangan mitranya. Sedangkan menurut malikiyah hal semacam ini disebut
syirkatul inan. Malikiyah menetapkan syarat dalam syirkah mufawadhoh yaitu
setiap kebijakan yang diambil oleh salah satu pihak harus seizin mitranya.
Menyikapi pendapat hanafiyyah dan zaidiyah di atas, imam
Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika syirkah mufâwadhah (yang seperti ini)
tidak bathil, maka tidak ada hal bathil lagi yang aku ketahui di dunia.”
Sementara Ulama’ hanabilah memandang syirkah mufâwadhah yang
berarti persamaan dalam modal, kerja, perwakilan, untung dan rugi adalah
diperbolehkan.
Yang rajih -wallahu a’alam- adalah pendapat jumhur yaitu
dalam syirkah mufâwadhah masing-masing pihak harus meminta pendapat dan
kerelaan mitranya dalam kebijakan dalam bisnisnya agar tidak ada gharar dan
jahalah (penipuan).
b. Syirkah bil A’mâl atau bil Abdân (Persyarikatan Pada
Tenaga/ Keahlian)
Syirkah ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha
sebagai modal utama. Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa
memanen padi atau mengangkat barang atau membuat perkakas rumah tangga dan lain
sebagainya. Dalam hal ini, menurut jumhur Ulama tidak disyaratkan kesamaan
tenaga atau keahlian pada masing-masing pihak dan hasil dibagi sesuai kesepakatan
bersama. Perserikatan seperti ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan
masing-masing tidak sama. Ulama’ yang membolehkan adalah dari kalangan
hanafiyyah, malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah, berdasarkan :
قَالَ ابنُ مَسْعُوْدٍ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا
نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا
وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ فَلَمْ يُنْكِرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
عَلَيْنَا
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku bersyerikat
dengan Ammar dan Sa’ad dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Sa’ad
berhasil menawan dua tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa
(lalu kami bagi bertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingkari perbuatan kami.[ HR. Abu Dawud]
Ibnu Taymiyyah rahimahullah memandang hadits ini sebagai
hujah syirkatul abdân
Sedangkan menurut syâfi’iyyah, imamiyyah, dan zufar,
syirkatul abdân ini hukumnya bathil karena modal tenaga atau keahlian itu tidak
dapat diukur nilainya dengan pasti, beda halnya dengan harta yang memiliki
kejelasan dan mudah untuk prosentase. Jadi dalam masalah ini terdapat unsure
gharar (penipuan).
Yang rajih – wallahu a’lam- adalah pendapat Jumhur, karena
gharar dengan sebab jahalah (ketidak jelasan) modal tenaga tersebut sangat
tipis sehingga tidak mempengaruhi hukum. Juga karena jahalah yang tipis itu
akan teratasi dengan syarat-syarat yang telah disepakati.
الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ
Kaum Muslimin berpegangan dengan syarat yang telah mereka
tentukan
c. Syirkatul Wujûh (berserikatan dalam kedudukan)
Syirkah wujûh adalah akad berserikat antara dua orang atau
lebih dengan modal pinjaman dari pihak luar karena mereka memiliki kedudukan di
tengah masyarat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.
Artinya, dengan kedudukan itu orang-orang yang berserikat
ini memperoleh pinjaman lunak berupa barang sebagai modal untuk dijual kontan
kepada konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada modal harta.
Syirkah semacam ini dibolehkan oleh Ulama’ hanafiyah,
hanâbilah dan zaidiyyah dengan dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun
(penanggungan) wa taukîl (perwakilan) yaitu setiap persero dan mengklaim barang
yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan kepada
syariknya untuk melakukan pembelian dan penjualan, Alasan lain adalah perbuatan
ini telah lama dilakukan kaum muslimin dari masa kemasa dan tidak terdengar
satupun ulama’ yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para
syarik merupakan suatu bentuk amal(tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga
menurut mereka hal yang demikian diperbolehkan.
Pendapat kedua adalah pendapat Ulama’ mâlikiyyah,
syâfi’iyah, zhâhiriyyah, imâmiyah, juga Abu Tsaur yang memandang bahwa syirkatul wujûh itu
bathil karena menurut mereka syirkah itu hanya pada harta dan tenaga (badan)
dan mereka menilai syirkatul wujûh bukan harta dan bukan badan.
Berdasarkan pendapat pertama dapat disimpulkan bahwa
syirkatul wujûh akan menghasilkan bagian yang jelas bagi masing-masing pihak
dari barang hutangan tersebut ( yang dijadikan sebagai modal), sehingga
keuntungan atau kerugian akan dibagi sesuai prosentase tanggungan
masing-masing. Karena masing-masing pihak sebagai dhâmin (penjamin) dari bagian
yang telah disepakati.
d. Syirkatul Mudhârabah
Syirkatul mudhârabah disebut juga qiradh. Ini adalah
gabungan dari syirkatul amwâl dari salah satu pihak dan syirkatul abdân dari
pihak kedua. Misalnya, akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih, dimana ada pihak yang membawa harta sebagai modal usaha sedangkan yang
lain membawa badan atau keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti ini hukumnya
mubah (boleh). Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu pernah memberikan modal
mudlârabah dengan menetapkan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian
berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkannya. Ijma’ shahabat juga membenarkan
syirkah semacam ini. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
pernah memberikan harta kepada anak yatim dengan cara mudhârabah. Kemudian Umar
Radhiyallahu anhu meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan
(bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal.
Keuntungan dalam syirkah mudhârabah dibagi sesuai
kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai ketentuan syara’ yaitu pemodal
menanggung kerugian harta, sementara pengelola menanggung kerugian waktu,
tenaga, keahlian dan pemikiran yang telah dicurahkan. Syirkah ini statusnya
sama dengan aqad wakâlah (perwakilan), dimana orang yang menjadi wakil tidak
bisa menanggung kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang mewakilkan,
sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus terjadi, bukan
karena kesengajaan atau kecerobohan pengelola.
Modal usaha dalam syirkah mudhârabah harus diserahkan
sepenuhnya kepada pengelola. Syirkah itu terbangun atas dasar kepercayaan dan
amanah. Jadi, pemodal harus mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola untuk
mengelola usahanya sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau
disepakati.
Termasuk syirkah mudharabah, bila ada dua pemodal atau lebih
yang bersepakat untuk menyerahkan pengelolaan usaha tersebut kepada salah
seorang mereka dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan demikian
akan ada satu pihak yang menjadi pemodal sekaligus pengelola.
Dengan memperhatikan berbagai bentuk syirkah dalam Islam,
maka terdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :
1. Untuk jenis syirkatul amwâl maka modal harus kontan dan
tidak boleh dihutang atau tidak ditempat akad (ghaib) karena tujuan syirkah ini
adalah mencari keuntungan dengan usaha dan itu tidak akan terwujud jika modal
belum diberikan. Alasan lain yaitu bila modal dihutang atau belum diserahkan
sementara pekerja sudah mengerahkan tenaga dan pikiran, maka itu akan
berpeluang menimbulkan sengketa.
2. Pembentukan dan pengembangan serikat harus dengan
persetujuan seluruh pihak yang terlibat. Jika sebuah serikat telah terbentuk
dan ada pihak lain yang ingin bergabung, maka itu harus dengan persetujuan
semua pihak yang terlibat.
3. Penghentian syirkah. Syirkah berdiri atas dasar kerelaan
(ridha), kepercayaan dan amanah. Sebagaimana aqad yang lain, aqad syirkah bisa
dibubarkan jika salah satu pihak membatalkan aqad. Atau karena salah satu pihak
meninggal atau gila. Menurut pendapat hanafiyah, bila salah seorang mitra
meninggal, ahli waris yang telah dewasa bisa melanjutkan syirkah tersebut.
Bila salah satu dari dua orang yang berserikat menghendaki
pembubaran, maka mitranya harus memenuhi permintaan itu. Namun, apabila yang
berserikat lebih dari dua orang, lalu salah seorang minta pembubaran, sementara
yang lain tidak, maka serikat itu dibubarkan terlebih dulu kemudian diperbarui
lagi diantara mitra yang masing ingin terus bekerjasama. Dalam syirkatul
mudhârabah, bila pengelola menghendaki penjualan agar meraih untung, sedang
yang lain tidak, maka keinginan pengelola harus dipenuhi karena keuntungan
adalah haknya, sedang untuk mendapatkannya harus melalui penjualan.
4. Pembagian Keuntungan dan Kerugian.
Keuntungan yang diperoleh harus dibagi sesuai dengan
kesepakatan yang ada diawal aqad dan harus jelas disebutkan dalam aqad.
Tujuannya agar tidak terjadi penipuan dan persengketaan. Sedangkan kerugian
usaha ditanggung berdasarkan prosentase modal yang disetorkan.
Dengan kita mengkaji bagaimana syariat Islâm mengatur
syirkah, maka kita dapat menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan
sistem kapitalis yaitu dengan mementingkan keuntuan pemilik modal belaka
merupakan suatu hal yang bertentangan dengan syariat Islâm sehingga harus
dilakukan perbaikan atau perubahan agar sesuai dengan syariat yang Allâh Azza
wa Jalla turunkan.
Wallahu a’lam bis shawab
No comments:
Write komentar