Aisyah. Dia adalah pengajar kaum laki-laki. Wanita yang
jujur, putri seorang yang jujur. Dia adalah Ummul Mukminin istri pemimpin anak
Adam. Dia adalah wanita yang paling dicintai Rasul dan puteri dari seorang yang
paling dicintainya. Dialah wanita yang namanya dibersihkan dari tujuh lapis
langit.
Berangkat dari hadits ifki. Peristiwa penting dalam
kehidupannya. Sebuah tuduhan keji, padahal dia adalah orang yang paling jauh
dari perbuatan yang dituduhkan dari penduduk bumi hingga langit. Dari langit
telah diturunkan keputusan tentang kebersihan dirinya dari tuduhan tersebut
dengan ayat-ayat yang kita baca hingga hari kiamat. Ujian terhadap wanita yang
paling utama menjadi pelajaran bagi setiap wanita, bahwa sesungguhnya di dunia
ini tidak ada wanita yang mendapat tuduhan lebih tinggi dari Aisyah.
Berangkat dari sketsa tentang hadits ifki yang menimpa
Aisyah makalah ini dibuat. Mencoba merangkai sebab turunnya ayat hadits ifki
untuk mengetahui kebenaran riwayat kronologinya. Untuk mendalami hukum serta
pelajaran yang terkandung di balik turunnya ayat melalui kolerasi antar ayat
secara historisitas.
Asbabun
Nuzul Haditsul Ifki
Imam Ahmad meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa ia berkata:
“Abdul Aziz bin Abdullah menceritakan
dari Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihab ia berkata: Urwah bin
Zubair, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Alqamah bin Waqash dan ‘Ubaidullah bin Abdillah
bin ‘Utbah bin Mas’ud menceritakan padaku dari hadits Aisyah Radhiyallahu
‘Anha, istri Rasulullah Shalallauhu ‘Alaihi Wasallam ketika ahlul ifki
melontarkan tuduhan terhadapnya lalu Allah menurunkan wahyu yang membebaskan
dirinya dari tuduhan tersebut. Setiap perawi telah meriwayatkan padaku
bagian-bagian tertentu darinya, sebagian perawi lebih hafal dari perawi lainnya
dan lebih lengkap kisahnya. Aku telah menghafal hadits ini dari setiap perawi
dari Aisyah. Riwayat-riwayat tersebut saling membenarkan satu sama lain. Mereka
semua menyebutkan bahwa Aisyah, isteri
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Apabila Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam hendak pergi bersafar, beliau mengundi di antara
isteri-isterinya. Barangsiapa yang keluar undiannya, dialah yang ikut pergi bersama
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Aisyah melanjutkan kisahnya: “Dalam suatu peperangan yang
hendak beliau ikuti, beliau mengundi diantara kami, ternyata yang keluar adalah
namaku. Maka aku pergi menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Peristiwa tersebut terjadi setelah diturunkannya ayat tentang hijab. Aku dibawa
di atas sekedupku dan bermalam di dalamnya. Kamipun menempuh perjalanan hingga
akhirnya Rasul selesai dari peperangannya dan bergegas hendak kembali. Ketika
kami hampir mendekati kota Madinah, beliau memerintahkan rombongan agar
bergerak pada malam hari. Ketika itu, aku keluar dari sekedupku dan berjalan
hingga menjauhi rombongan untuk buang hajat. Setelah menyelesaikan hajat akupun
kembali. Aku meraba dadaku, ternyata kalungku yang terbuat dari akar zhafar
putus dan hilang. Akupun mencarinya hingga tertahan di tempat karena lama
mencarinya. Pada saat bersamaan, rombongan kembali bergerak melanjutkan
perjalanan. Mereka membawa sekedupku dan meletakakknya di atas unta yang aku
tunggangi. Mereka mengira aku berada di dalamnya.
Pada saat itu kaum wanita sangat ringan bobotnya, tidak
berat dan tidak gemuk, mereka hanya makan sedikit saja. Mereka tidak mencurigai
berat sekedup yang bertambah ringan ketika mereka membawa dan mengangkatnya.
Ketika itu, aku adalah gadis yang masih muda belia. Akhirnya mereka pun membawa
unta-untanya dan meneruskan perjalanan. Lantas aku berhasil menemukan kalung
tatkala bala tentera telah bergerak jauh. Aku mendatangi tempat pemberhentian
tadi, tidak ada seorang pun yang memanggil dan tidak ada pula orang yang
menjawab. Lalu aku kembali ke tempat dudukku. Aku berharap ada suatu kaum (dari
tentera kaum muslimin) yang menemukanku dan kembali menjemputku.
Tatkala aku duduk di tempat dudukku, aku merasa mengantuk
dan tertidur. Pada saat itu, Sedangkan Shafwan bin Mu’atthal Assulami
Adz-Dzakwani berjalan di belakang rombongan. Ia berjaan hingga sampai di
tempatku. Ia meihat bayangan hitam manusia sedang tidur. Ia datang mendekatiku.
Ia langsung mengenalku begitu melihatku. Ia telah melihatku sebelum turun
perintah berhijab. Aku bangun begitu mendengar ucapan istirja’nya. Akupun
menutup wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia sama sekali tidak berbicara padak
walauapun sepotong kalimat. Aku tidak mendengar sepatah katapun darinya kecuali
ucapan istirja’nya ketika ia menambatkan kendaraannya. Ia memegang kaki
kendaraannya dan mempersilahkanku naik ke atasnya. Aku pun naik, kemudia ia
membawaku hingga dapat menyusul rombongan setelah mereka berhenti di tengah hari
yang sangat terik. Binasalah orang-orang binasa yang mengomentari peristiwaku
tersebut. Orang yang paling memiliki andil besar dalam penyebaran berita palsu
adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Tersebar Ifki
Kami pun tiba di Madinah. Setelah satu bulan tiba di Madinah
aku jatuh sakit. Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan ahlul ifki,
sedang aku sama sekali tidak mengetahuinya. sebenarnya, aku telah merasakan
kecuriagaan saat aku sakit, aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah yang
biasa kuterima saat aku sakit. Rasuullah hanya datang menemuiku, mengucapka
salam kemudian berkata: “Bagaimana kabarmu?” Itulah yang membuatku curiga dan
aku belum esakan keburukannya hingga pada suatu ketika aku sudah merasa sehat
aku keluar bersama Ummu Misthah ke Al-Manash, yaitu tempat kami buang hajat.
Biasanya kami ke tempat itu hanya pada malam hari. Saat itu kami belum membuat
tempat buang hajat di dekat rumah. Kami masih melakukan kebiasaan yang
dilakukan oleh orang-orang Arab terdahulu, yaitu buang hajat di padang pasir.
Kami merasa terganggu dengan tempat buang hajat yang berada di dekat rumah.
Aku pun berangkat bersama Ummu Misthah, dia adalah puteri
Abu Rahm bin muthallib bin Abdi Manaf, iabunya adalah putri Sakhr bin Amir,
bibi dari Abu Bakr Ah-Shidiq. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah bin Abbad
bin Abdul Muthallib. Aku pun kembali ke rumah bersama Ummu Misthah setelah selesai buang hajat. Ummu Misthah
tiba-tiba mencela dari balik kerudungnya, ia berkata, “Merugilah Misthah!”
Sunngu buruk perkataanmu, apakah engkau mencela seorang laki-laki yang telah
mengikuti peperangan Badar?” kataku. “Duhai, kau ini, belumkah engkau mendengar
apa yang dikatakannya?” Kata Ummu Misthah. “Memangnya apa yang telah dia
katakan?” Selidikku. Lalu ia pun menceritakan tuduhan ifki terhadap diriku.
Mendengar cerita itu, sakitku bertambah parah dari yang sebelumnya.
Ketika aku sampai di rumah, Rasulullah datang dan
mengucapkan salam kemudian berkata: “Bagaimana kabarmu?” Aku berakata pada
beliau: “Bolehkah aku pergi menemui kedua orang tuaku?”.
Aku ingin mengecek kebenaran berita itu dari kedua orang
tuaku. Rasulullah memberiku izin, maka aku pun segera menemui keua orang tuaku.
Aku berakata pada ibuku, “Wahai ibunda, mengapa orang-orang membicarakannya?”
Ibuku berkata: “Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah jarang sekali wanita cantik
yang dicintai suaminya dan dimau melainkan madu-madunya itu pasti banyak
menggunjing dirinya. “Subhanallah, berarti orang-orang telah membicarakannya”,
seruku.
Pada malam itu juga aku menangis hingga pagi hari. Air
mataku terus mengalir tanpa henti. Aku tidak bisa tidur dan terus menagis
hingga pagi.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil
Ali bin Abi Talib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu belum turun. Beliau meminta
pendapat mereka berdua tentang masalah perceraian denganku. Adapun Usamah bin
Zaid, dia mengusulkan kepada beliau agar menagguhkannya karena ia mengetahui
bersihnya istri beliau dari tuduhan tersebut dan juga karena ia tahu bagaimana
kecintaan mereka pada beliau. Usamah berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidak
mengetahui tentang keluargamu, melainkan kebaikan”.
Adapun Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Wahai Rasulullah,
janganlah engkau dibuat sedih karenanya. Masih banyak wanita-wanita lain
selainnnya. Tanyakan saja pada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.”
Aisyah berkata: “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam memanggil Barirah, beliau bertanya: “Wahai Barirah! Apakah engkau
melihat ada sesuatu yang meragukan pada diri Aisyah?” Barirah menjawab: “Demi
Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melihat pada dirinya suatu yang
tercela darinya , hanya saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah
ketiduran saat menjaga adonan roti milik keluarganya, lalu datanglah kambing
memakannya”.
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada di
atas mimbar, beliau bersabda: “Wahai kaum muslimin, siapakah yang akan
memberiku pengakuan dari seorang lelaki (Abdullah bin Ubai bin Salul) yang
telah menyakiti keluargaku. Sungguh demi Allah, aku tidaklah mengetahui sesuatu
pun dari keluargaku kecuali kebaikan. Mereka telah menceritakan tentang seorang
lelaki (Shafwan bin Mu’atthal Assulami) yang aku tidak mengetahui dari dirinya
kecuali kebaikan. Dan tidaklah ada orang yang menemui isteriku kecuali dia bersamaku.”
Lantas Sa’ad bin Mu’adz al Anshari berkata: “Wahai Rasulullah! aku akan
membelamu darinya. Bila ada orang dari Bani Aus maka akan kupenggal lehernya,
sekalipun dari saudara kami dari Bani Khazraj bila engkau memerintahkan kami,
maka kami akan melaksanakan perintahmu.”
Seketika itu juga Sa’ad bin Ubadah (dia adalah pemimpin dari
Bani Khazraj, dia adalah seorang lelaki yang soleh, hanya saja dia masih
memiliki sikap fanatik) berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz: “Demi Allah, engkau
tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu untuk membunuhnya.” Maka berdirilah
Usaid bin Hudhair dan dia adalah anak saudara Sa’ad bin Mu’adz, dia berkata
kepada Sa’ad bin Ubadah: “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya karena
kau seorang munafik yang memperdebatkan orang-orang munafik.”
Keadaan pun semakin panas antara Bani Aus dan Khazraj,
hingga mereka ingin saling bunuh membunuh sedangkan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam masih tetap berdiri di atas mimbar. Kemudian Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menenangkan mereka, hingga mereka terdiam dan
beliau pun terdiam.
Aisyah berkata: “Pada hari itu, aku pun menangis hingga air
mataku habis dan aku tidak memakai celak tatkala tidur. Malam berikutnya pun
masih sama. Kedua orang tuaku mengira tangisanku telah membelah hatiku. Lalu
keduanya duduk di sisiku sementara aku masih terus menangis. Ketika itu, ada
seorang wanita Anshar yang meminta izin untuk menemuiku, aku pun
mengizinkannya. Dia pun duduk dan ikut menangis bersamaku. Tatkala kami dalam
keadaan seperti itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masuk menemui
kami, beliau mengucapkan salam lantas beliau duduk. Beliau tidak pernah duduk
di sisiku selama satu bulan, sejak wahyu tidak diturunkan kepadanya mengenai
urusanku.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersaksi, seraya
mengucapkan salam sambil duduk. Beliau bersabda: “Amma ba’du, wahai Aisyah,
sesungguhnya telah sampai kepadaku berita begini dan begini, sungguh jika
engkau terlepas dari hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah Ta’ala
menjauhkanmu. Jika kamu melakukan dosa tersebut, minta ampunlah kepada Allah
dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena, seorang hamba yang mengakui dosanya
kemudian bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya.” Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir
hingga tidak terasa lagi titisan air mata tersebut. Aku berkata kepada ayahku:
“Jawablah apa yang telah dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengenai diriku.” Ayahku berkata: “Aku tidak tahu, demi Allah, aku tidak akan berbicara
kepada Rasulullah.” Lalu aku berkata kepada ibuku: “Jawablah apa yang telah
dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengenai diriku!” Ibuku
berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Aisyah berkata: “Aku adalah seorang gadis yang masih kecil
usianya, aku tidak banyak hafal ayat Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku
mengetahui engkau telah mendengar hal ini hingga engkau merasa mantap dan
percaya terhadap hal itu. Dan bila aku bicara kepada kalian, ‘Sesungguhnya aku
jauh dari perbuatan tersebut dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui bila aku jauh
dari perbuatan tersebut, maka kalian juga tidak akan percaya terhadap hal itu.
Jika aku mengaku kepada kalian dengan suatu perkara, sedang Allah Ta’ala Maha
Mengetahui bahawa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian pasti akan
mempercayaiku. Demi Allah, sungguh tidak ada perkataan antara diriku dengan
kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf: “Sabar itu adalah
baik dan Allah adalah tempat meminta pertolongan terhadap apa yang kalian
tuduhkan” (Yusuf: 18)’.”
Kemudian aku mengubah posisiku, aku berbaring di atas
ranjangku. Demi Allah, ketika itu aku mengetahui bahawa aku jauh dari perbuatan
tersebut dan Allah Ta’ala akan menjauhkanku karena aku jauh dari perbuatan
tersebut. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak mengira akan turun wahyu untuk
perkaraku. Dan sungguh perkaraku jauh lebih remeh daripada Allah Ta’ala
berfirman padaku dengan wahyu yang dibacakan. Harapanku saat itu hanyalah
supaya pada mimpi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperlihatkan bahawa
Allah Ta’ala menjauhkan diriku dari perbuatan tersebut.
Kabar Gembira
Demi Allah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah
keluar dari majlisnya dan tidak ada seorang pun yang keluar dari penghuni rumah
tersebut hingga Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Sehingga,
keadaan beliau berubah sebagaimana perubahan yang biasa terjadi tatkala wahyu
turun, peluh beliau terus keluar padahal hari itu adalah musim dingin. Hal itu
dikarenakan begitu beratnya firman yang telah diturunkan kepadanya. Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendapat kabar gembira tersebut, beliau
tertawa dan kalimat yang pertama kali beliau sabdakan ketika itu adalah: “Kabar
gembira wahai Aisyah! Allah Ta’ala telah menjauhkanmu dari perbuatan tersebut.”
Kemudian ibuku berkata kepadaku: “Berdirilah kepadanya.” Aku berkata: “Demi
Allah, aku tidak akan berdiri kepadanya dan aku tidak akan memuji kecuali
kepada Allah Ta’ala. Dia-lah yang telah menurunkan wahyu yang menjelaskan akan
jauhnya diriku dari hal itu. Sungguh Allah Ta’ala telah menurunkan ayat yang
artinya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga...” hingga sepuluh ayat. Allah Ta’ala telah menurunkan
beberapa ayat yang menjelaskan akan jauhnya diriku dari perbuatan tersebut.
Dalam sunan Abu Daud disebutkan bahwa hadits tersebut
dishahihkan dalam kitab Shahih Al-Jami’. (38) Namun, matan haditsnya “ Aku
hanya memuji Allah tidak pada kalian berdua”. Hadits ini bersumber dari Musa
bin Ismail, diceritakan oleh Hammad, diceritakan oleh Hisyam bin Urwah. (Abu
Daud, bab fi Qublah Ar-Rajul, no. 5219: 943)
Teguran untuk Abu Bakar
Abu Bakar terbiasa berinfak kepada Misthah (salah seorang
yang menuduh Aisyah) karena dia adalah kerabatnya dan dia adalah seorang yang
fakir. Ayahku berkata: “Demi Allah, aku tidak akan pernah memberi bantuan
untuknya selamanya setelah dia menuduh Aisyah.” Lalu Allah Ta’ala menurunkan
wahyu, yang artinya: ‘Dan janganlah orang-orang yang mempunyai -sampai kepada
firman-Nya- apakah kamu tidak ingin bahawa Allah mengampunimu..” (An-Nur: 22)’.
Lantas Abu Bakar berkata: “Demi Allah, aku lebih senang bila Allah
mengampuniku.” Kemudian ayahku kembali memberi bantuan kepada Misthah seperti
biasa dia memberi bantuan kepadanya. Abu Bakar berkata: “Sungguh, aku tidak
akan menghentikan bantuanku selama-lamanya.”
Meminta pendapat dari istri-istrinya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada
Zainab binti Jahsy mengenai perkara yang terjadi padaku: “Apa yang kamu
ketahui, apa yang kamu lihat, atau berita apa yang telah sampai kepadamu
mengenai Aisyah?” Dia menjawab; “Wahai Rasulullah! Aku selalu menjaga
pendengaran dan penglihatanku dan aku tidak mengetahui pada dirinya kecuali kebaikan.”
Aisyah berkata: “Padahal Zainab adalah isteri beliau yang dikenal setara
kedudukannya denganku. Namun Allah Ta’ala telah menjaganya dengan sifat
wara’. (Bukhari dalam Ibnu Hajar, 2004:
495, no. 4381 dan Sahih Muslim, no. 4974)
Pelajaran
dari Haditsul Ifki Secara Historisitas
Allah Ta’ala menceritakan peristiwa yang menimpa Aisyah
berupa berita palsu yang dibawa oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Adapun
kolerasi dari kedua ayat yaitu ayat 13 dan 14 adalah bahwa karena yang
melakukan tuduhan keji pada Aisyah masih memiliki keimanan dalam diri mereka
maka Allah ampuni kesalahan mereka tersebut. Kalaulah bukan keimanan yang ada
dalam dada mereka tentulah Allah telah mengadzab mereka dengan adzab yang
pedih. Adapun Abdullah bin Ubay bin Salul dan teman-temannya tidaklah masuk
dalam kandungan ayat ke 14. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki keimanan
dan kebaikan yang dapat mengimbangi kesalahan mereka tersebut. (Ibnu Katsir,
2004: 223).
Mengenai hukuman Abdullah bin Ubay bin Salul banyak diantara
kita yang mempertanyakan sebab ia tidak dirajam. Buya Hamka dalam magnum
opusnya menyebutkan bahwa tidak dihukumnya Abdullah bin Ubay secara tersendiri
merupakan hukuman yang sangat berat baginya. Dia dipandang seperti orang lain,
dia tidak dipercaya lagi, dia tidak dibawa dalam perjalanan lainnya. Padahal
Rasul mampu untuk menghukumnya merupakan satu pukulan batin yang sangat besar
baginya. (Hamka, 2015, 275)
Hanya orang mukminlah
yang mengenal rahasia tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “Alangkah baiknya
setelah mendengar berita tersebut, laki-laki beriman dan wanita yang beriman
berbaik sangka pada diri mereka. lantas, mereka berkata, “Ini adalah kebohongan
yang sangat nyata”. (QS. An-Nur: 12)
Adapun hukuman bagi 3 pelaku lain yang turut menyebarkan,
imam Al-Mawardi menyebutkan bahwa terjadi perbedaan pendapat mengenai hal itu.
Sebagian ulama mengatakan ketiganya tidak dihad karena hukuman had hanya bisa
ditegakkan dengan cara iqrar atau didatangkan bukti. Allah tidaklah
memerintahkan menghukum mereka berdasarkan khabar yang ada. Namun, imam
Al-Mawardi melemahkan pendapat tersebut. Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka
dijatuhi hukuman had termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul. Namun, dalam riwayat
yang shahih dan makruf dikalangan ulama yang dijatuhi hukuman had hanyalah
Misthah, Hamnah dan Hasan bin Tsabit. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Daud dari
Aisyah ia berkata: “Ketika ayat yang menurunkan udzurku diturunkan, maka nabi
menyeru dan membacakan ayat tersebut di atas minbar, ketika beliau turun dari
mimbar beliau lantas menyuruh seseorang untuk memukul dua orang lelaki dan satu
dari kalangan wanita untuk ditegakkan had. (HR. Abu Daud/ 4474, Tirmidzi/ 3181,
Tirmidzi mengomentari bahwa hadits tersebut Hasan Gharib dan tidak dketahui
riwayatnya kecuali melalui jalur Muhammad bin Ishak) Dan mereka yang disebut
adalah Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsyi. ( Abu
Daud/ 4475)
Dalam ayat 15 beserta 9 ayat selanjutnya menerangkan akibat
dan ancaman bagi orang-orang yang telah menuduh tuduhan keji pada ibunda Aisyah
dengan serangkaian ayat yang menerangkan kesuciannya. Hal ini ditujukan guna
menjaga kehormatan Rasulullah.
Dalam ayat 16 Allah mengingatkan bahwa menyebarkan berita
yang tidak diketahui sumbernya adalah tidak diperbolehkan. Walaupun manusia
menganggap remeh hal tersebut namun di sisi Allah hal itu adalah perkara besar.
Pada ayat selanjutnya Allah mengingatkan bahwa sudah
selayaknya kaum muslimin berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri.
Maksudnya, berbaik sangka untuk saudaranya pada hakikatnya adalah berbaik
sangka pada dirinya sendiri. Lantas
Allah menyebutkan bahwa ayat yang terangkai merupakan bentuk pembelajaran bagi
generasi setelahnya.
Pada dua ayat terakhir, Allah menjelaskan bahwa balasan bagi
orang yang menyebarkan berita bohong adalah adzab yang besar baik di dunia
berupa had qadzaf maupun di akhirat berupa adzab neraka.
Hukuman
Pelaku Qadzaf
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan di atas bahwa
diantara balasan bagi orang yang menyebarkan berita bohong adalah adzab di
dunia berupa had (had qadzaf). Haditsul ifki merupakan sejarah pertama qadzaf
yang dilakukan pada wanita baik-baik yang bukan istrinya. Qadzaf yaitu tuduhan
yang dilemparkan kepada wanita muhshanah ghafilah bahwa dirinya telah melakukan
perbuatan keji berupa zina. Buya Hamka mengatakan bahwa perempuan baik dan
terhormat (muhshanah) yang Allah sinyalir dalam Al-Qur’an adalah yang aman
damai dalam keluarganya, setia dengan suaminya, santun dan rahmah pada
anak-anaknya. Dihormati dan baik interconeksinya dengan tetangga maupun
masyarakat pada umumnya. Yang ia pikirkan hanyalah melaksanakan tugasnya
sebagai istri, ibu dan anak. Dia yang jujur terhadap suaminya. Senantiasa
menjaga diri hanya untuk suami. Mendidik anak-anaknya. Tak ada pandangan
kecuali untuk suami dan anaknya. Itulah yang disebut sebagai wanita muhshanat.
(Hamka, 2015: 257)
Sebagaimana tersebut dalam magnum opusnya, Ath-Thabari
menyatakan bahwa “muhshanat” adalah mereka yang terjaga, terlindungi dan
terbenteng. Namun, kadang mereka memiliki label “Ghafilat”, yaitu wanita yang
lengah. Segala kelengahan adalah tercela, kecuali bagi perempuan. Sebab baginya
lengah adalah pujian kehebatan. (Ath-Thabari dalam Hamka, 2015: 257)
Hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berzina
disinyalir dalam ayat “Dan orang-orang yang menuduh perempuan –perempuan
terhormat (berbuat zina), kemudian ia tidak mendatangkan empat saksi, maka
hendaklah mereka didera delapan puluh kali deraan, dan janganlah diterima
kesaksian dari mereka selamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang”.
Cambuk dilaksanakan sebanyak 80 kali. Tidak dapat diganti
maupun dikurangi. Waliyul Amri tidak boleh memaafkan pelaku qadzaf. Namun bagi
maqdzuf ia memiliki hak untuk memaafkan menurut sebagian ulama dan tidak
memiliki hak maaf menurut pendapat lain.
Tertolak
persaksiannya
Tertolaknya persaksian penuduh sudah disepakati di kalangan
ulama. Namun, jika pelaku sudah bertaubat para ulama berbeda pendapat. Abu
Hanifah berpendapat bahwa persaksian seorang qadzif tertolak walaupun ia sudah
bertaubat. Adapun menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad persaksian qadzif diterima
jika telah bertaubat.
Disebut
sebagai fasik
Abu Hanifah berpendapat bahwa qadzif tetap disifati dengan
fasik. Berbeda dengan jumhur yang mengatakan bahwa sifat fasik seorang qadzif
hilang dengan taubat. (Audah, 2009: 382)
Referensi:
Ibnu Katsir, jild. 6, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim
Tafsir Al-Azhar, jild 6 Buya Hamka
Sunan Abu Daud, Abu Daud
Fath Al-Bari
Shahih Muslim
Syarh Illah at-Tirmidzi
Sunan At-tirmidzi
No comments:
Write comments