Dalam islam, kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada
ayah, dan bukan ibunya. Karena kepala keluarga, wajib menanggung semua
kebutuhan anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya.
Dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi
nafkah anaknya adalah kasus Hindun bersama suaminya, Abu Sufyan.
Abu Sufyan tidak memberikan nafkah yang cukup untuk Hindun
dan anaknya. Kemudian beliau mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خُذِي مَا يَكْفِيك وَوَلَدَك بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah harta Abu Sufyan yang cukup untuk dirimu dan anakmu
sewajarnya. (HR. Bukhari 5364 dan Muslim 1714).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri
untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak
memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Ini menunjukkan bahwa
dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.
Ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai,
wanita yang dulunya menjadi istri, kini berubah status menjadi mantan istri.
Tali pernikahan sudah putus, bukan lagi suami-istri. Sehingga dia tidak wajib
dinafkahi oleh mantan suaminya.
Namun hak nafkah bagi anak, tidak putus, sehingga ayah tetap
berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal
bersama mantan istrinya.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan, ‘’Ulama yang kami ketahui
sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih
kecil, yang tidak memiliki harta. Karena anak seseorang adalah darah dagingnya,
dia bagian dari orang tuanya. Sebagaimana dia berkewajiban memberi nafkah untuk
dirinya dan keluarganya, dia juga berkewajiban memberi nafkah untuk darah
dagingnya.’’ (al-Mughni, 8/171).
Mantan istri boleh nuntut mantan suaminya untuk menafkahi
seluruh kebutuhan anaknya. Jika mantan suami tetap tidak bersedia, mantan istri
bisa menggunakan kuasa hukum untuk meminta hak anaknya.
Wahb bin Jabir menceritakan, bahwa mantan budak Abdullah bin
Amr radhiyallahu ‘anhu pernah pamit kepadanya, “Saya ingin beribadah penuh
sebulan ini di Baitul Maqdis.”
Sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, langsung
bertanya kepada beliau, “Apakah engkau meninggalkan nafkah untuk keluargamu
yang cukup untuk makan bagi mereka selama bulan ini?”
“Belum.” Jawab orang itu.
“kembalilah kepada keluargamu, dan tinggalkan nafkah yang
cukup untuk mereka, karena saya mendengar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت
“Seseorang dianggap melakukan dosa, jika dia menyia-nyiakan
orang yang orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Ahmad 6842, dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain dinyatakan,
إِنَّ الله سائل كل راع عما استرعاه: أحفظ أَمْ ضَيَّعَ، حَتَّى
يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بيته
Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang
rakyatnya, apakah dia jaga ataukah dia sia-siakan. Hingga seorang suami akan
ditanya tentang keluarganya. (HR. Ibnu Hibban 4493 dan dihasankan oleh
al-Albani).
Allahu a’lam.
No comments:
Write comments