Pembahasan fikih, seringkali terjadi multi tafsir atau multi
kesimpulan hukum (istinbath), sehingga wajar jika memancing diskusi ilmiah di
kalangan ulama. Tentu ada hikmah dibalik ini, seperti untuk menanamkan spirit
ilmiyah dalam diri umat Islam, agar selalu dekat dengan agama, karena diskusi
panjang terkait suatu pembahasan fikih misalnya, akan menjadikan seorang muslim
selalu dekat dengan aturan agamanya. Islam berputar di dalam roda-roda
kehidupannya, serta masih ada beberapa hikmah lainnya.
Saat seorang suami memegang pendapat fikih tertentu, yang
berbeda dengan pendapat fikih pegangan istri, apakah termasuk bentuk tidak taat
kepada suami?
Sebelum menjawabannya, kita perlu memastikan terlebih dahulu
bahwa perselisihan itu benar terjadi dalam masalah fikih, bukan pada masalah
akidah. Kita harus jeli membedakan dua jenis ilmu ini. Agar hukum tepat pada
sasarannya.
Pertama, dalam masalah akidah, maka bukan ruang berbeda
pendapat, karena aqidah adalah pondasi pokok dalam bergama.
Kedua, perbedaan pendapat, terjadi dalam ruang perbedaan
yang dianggap wajar terjadi diskusi (mu’tabar). Artinya, masing-masing pendapat
didukung oleh argumen dalil yang kuat. Adapun dalam masalah perbedaan pendapat
yang tidak mu’tabar, maka disitu bukan ruang untuk bertoleransi, tapi ruang
untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, dan istri harus mentaati suami dalam hal
seperti ini.
Setelah dua poin di atas dapat di pastikan, kita dapat
mengetahui hukum persoalan tadi melalui rincian-rincian berikut :
Pertama, ibadah sunah atau wajib yang tidak ada kaitan dengan
hak suami. Maka boleh Istri memegang pendapat yang dia pandang kuat, meski
harus berseberangan dengan pilihan suami.
Seperti, istri berkeyakinan wajibnya zakat emas / perak, meskipun
yang dipergunakan sebagai perhiasan. Maka suami tidak berhak melarang.
Sebagaimana keterangan dari Syekh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah, ‘’Sebagian suami, melarang istrinya menunaikan zakat perhiasan
yang ia pakai, berlandaskan pada pendapat kedua yang lemah (pent, pendapat yang
menyatakan, perhiasan yang dipakai tidak ada zakatnya). Haram bagi suami
melakukan tindakan seperti ini. Tidak halal bagi suami, ayah atau saudara
laki-laki, melarang seorangpun menunaikan zakat hartanya. Bagi istri, boleh
memaksiati suami dalam persoalan seperti ini. Silahkan dikeluarkan zakatnya
tanpa perlu peduli dengan sikap suami. Karena ketaatan kepada Allah, lebih
utama daripada ketaatan kepada suami. (Lihat : Jalsaat Ramadhaniyyah, Soal no.
5, dikutip dari Islamqa)
Contoh yang lain, dalam ibadah sunah. Misalnya sholat sunah,
istri berkeyakinan ketika turun sujud, lutut dulu baru tangan, sementara suami
tangan dulu. Atau istri berpendapat, setelah bangkit dari ruku’, disunahkan
bersedekap, dan suami tidak berpendapat sama. Maka dalam persoalan seperti ini,
suami tidak berhak memaksa istri untuk taat kepada pendapat yang dia pilih,
kecuali jika istri ikut suami dalam persoalan ini, bukan semata perintah suami.
Tapi puas dan legowo, dengan argumentasi suami dalam menilai kuat pendapat yang
dia pilih.
Kedua, ibadah sunah yang ada kaitan dengan hak
suami.
Maka di sini, istri tidak boleh bersikukuh memegang
pendapatnya. Bahkan terdapat larangan tegas. Di sinilah peluang istri untuk
taat kepada suaminya.
Contohnya seperti puasa sunah. Tidak boleh seorang istri
berpuasa sunah saat kehadiran suami, tanpa seizin suami. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan
suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Contoh lain, jenguk orang sakit, i’tikaf, haji atau umrah
yang sunah (yang kedua kali atau lebih), serta ibadah-ibadah sunah lainnya yang
menuntut wanita keluar rumah. Karena dengan keluarnya dia dari rumah, akan
mengurangi suami mendapatkan haknya.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan, ‘’Suami berhak
melarang istri keluar untuk hajian yang sunah dan ihram untuk haji sunah
(demikian umrah sunah, pent), tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat, suami boleh mencegah istrinya
melaksanakan haji sunah. Karena ibadah tersebut ibadah yang sunah yang dapat
mengorbankan hak suami. Maka suami boleh mencegah istri melakukannya,
sebagaimana i’tikaf…” (Lihat : Al Mughni 3/257)
Ketiga, perkara mubah.
Suami berhak melarang istrinya dalam hal-hal yang hukumnya
mubah, jika dipandang bermaslahat atau berkaitan dengan hak suami.
Seperti, ikut arisan ibu-ibu, jalan sehat, belanja ke
supermarket dan hal-hal mubah lainnya.
Contoh yang masuk ke ranah perbedaan pendapat Fikih
(khilafiyah), hukum membuka penutup wajah / cadar di depan laki-laki non mahram
(ajnabi) bagi wanita. Istri berpendapat mubah (boleh) membuka wajah, sementara
suami memilih pendapat yang haram. Karena beliau berpendapat memakai cadar
adalah wajib. Maka istri dalam hal ini, wajib mentaati suami.
Dijelaskan dalam Fatawa Islam, ‘’Segala hal yang mubah bagi
wanita, maka suami berhak mencegahnya atau mengharuskannya mengikuti pendapat
suami, jika suami berpandangan bahwa yang mubah menurut istri adalah haram
menurut suami.’’ (Soal no. 97125, islamqa)
Keempat, masalah fikih yang dipandang istri haram atau
bid’ah.
Misalnya, istri memilih pendapat memakai cadar adalah wajib.
Sementara suami berpandangan sunah, sehingga menurut istri, membuka wajah di
depan laki-laki non mahram adalah haram, sementara menurut suami, boleh.
Kebalikan dari contoh point ketiga di atas. Maka tidak boleh suami mengharuskan
istri mengikuti pendapat fikihnya. Artinya boleh bagi istri untuk tidak
mentaati suami dalam masalah seperti ini.
Dalam hal ini, berlaku hadis Nabi shallallahu’alaihi
wasallam,
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara melanggar
aturan Sang Khaliq. (HR. Ahmad)
(Lihat : Fatwa Lajnah Da-imah, 17 / 257 – 258)
* (Keempat rincian di atas, merujuk pada penjelasan di
Fatawa Islam: https://islamqa.info/amp/ar/answers/97125)
No comments:
Write komentar