Mudharabah adalah akad
(transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan modal kepada yang
lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai
dengan kesepakatan.
Para ulama telah sepakat, sistem
penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah
ijma ulama yang membolehkannya, seperti dinukilkan Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm,
Ibnu Taimiyah, dan lainnya.
Diriwayatkan dalam Al-Muwattha dari
Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan : Abdullah dan Ubaidillah
bin Umar bin Al-Kaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq.
Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni Gubernur
Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan
suka cita.
Beliau berkata, “Kalau aku bisa
melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan”, kemudian
beliau berkata : “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta
Allah yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku memimjamkannya kepada
kalian, untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota
Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan
keuntungannya kalian ambil”.
Mereka berkata, “Kami suka
(dengan hal) itu”, maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis
surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab, agar Amirul Mukminin itu
mengambil dari mereka uang yang dia titipkan.
Sesampainya di kota Al-Madinah,
mereka menjual barang itu dan mendapat keuntungan.
Ketika mereka membayarkan uang
itu kepada Umar, lantas Umar berkata : “Apakah setiap anggota pasukan diberi
pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?”
Mereka menjawab, “Tidak”.
Beliau berkata, “Apakah karena
kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman?
Kembalikan uang itu beserta keuntungannya”. Adapaun Abdullah, hanya terdiam
saja, sementara Ubaidillah langsung angkat bicara : “Tidak sepantasnya engkau
berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang itu berkurang atau habis,
pasti kami akan bertanggung jawab,” (namun) Umar tetap berkata, “berikan uang
itu semuanya”.
Abdullah tetap diam, sementara
Ubaidillah tetap membantah.Tiba-tiba salah seorang di antara pegawai Umar
berkata : “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai Umar?”.
Umar menjawab, “Ya. Aku jadikan
itu sebagai investasi”. Umar segera mengambil modal beserta setengah
keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan
sisanya. [Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (5/290-291)]
Kaum Muslimin sudah terbiasa
melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa
dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang
diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun,
dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan
dan tidak mengingkarinya.
Para ulama membagi mudharabah
menjadi dua jenis.
Pertama : Mudharabah Al-Muthlaqah
(Mudharabah Bebas)
Adalah sistem mudharabah yang
dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal
kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan
siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudhaarib
(pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan
kemaslahatan.
Kedua : Mudharabah Al-Muqayyadah (Mudharabah
Terbatas)
Dalam hal ini pemilik modal
(investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha,
tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan bertransaksi dengan
mudharib. [Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit. hal.186]
Persyaratan pada jenis yang kedua
ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih,
pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i,
karena hanya sekedar ijtihad dan dilakukan berdasarlkan kesepakatan dan
keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan. Demikianlah yang
dirajihkan oleh penulis kitab Al-Fiqh Al-Muyassar halaman.187
Perbedaan antara keduanya
terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
Para ulama membagi syarat
mudharabah menjadi dua :
Pertama, Syarat Yang Shahih
(Dibenarkan).
Yaitu syarat yang tidak
menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula menyelisihi tujuannya, serta memiliki
maslahat (kebaikan) untuk akad tersebut.
Contohnya, pemilik modal
mensyaratkan kepada pengelola agar tidak membawa pergi harta tersebut ke luar
negeri atau membawanya ke luar negeri, atau melakukan perniagaannya khusus di
negeri tertentu atau jenis tertentu yang mudah didapatkan. Menurut kesepakatan
para ulama, syarat-syarat yang demikian itu dibenarkan dan wajib dipenuhi,
karena terdapat kemaslahatan dan tidak menyelisihi tuntutan maupun maksud akad
perjajian mudharabah.
Kedua : Syarat Yang Fasad (Tidak
Benar).
Syarat ini terbagi tiga :
1. Syarat yang
meniadakan/menghapus tuntutan konsekwensi akad, seperti mensyaratkan tidak
membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu kecuali dengan harga modal atau di
bawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi
tuntutan dan maksud akad kerja sama, yaitu mencari keuntungan.
2. Syarat yang bukan dari
kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk
memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
3. Syarat yang berakibat tidak jelasnya
keuntungan. Misalnya mensyaratkan kepada pengelola pembagian keuntungan yang
tidak jelas, atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola.
Keuntungan usaha ini untuk pengelola modal, dan yang satunya untuk pengelola.
Atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini
disepakati kerusakannya, karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari
salah satu pihak, atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Dengan
demikian maka akadnya batal.
Mudharabah ini berakhir dengan
pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan
secara terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak
bisa membatalkan transaksi, kapan saja dikehendaki. Transaksi mudharabah ini
juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melakukan
transaksi, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat th 620H)
menyarakan : “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir
dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak –siapa saja-, dengan
kematian, gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada
harta orang lain dengan seizinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya
antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya” [Al-Mughni, op,cit. (7/172)]
Apabila telah dihentikan dan
harta (modal) utuh, tidak memiliki keuntungan, maka harta tersebut diambil oleh
pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan, maka keduanya membagi keuntungan
tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk
barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya, maka diperbolehkan,
karena merupakan hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola meminta untuk
menjualnya, sedangkan pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka pemilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena hak pengelola
ada pada keuntungan, dan tidak tampak kecuali dengan dijual. Namun bila tidak
tampak keuntungan, maka pemilik modal tidak dipaksa. [Al-Mughni, op.cit (7/172)]
Dari penjelasan singkat ini,
tampaklah disini keadilan syari’at Islam yang sangat memperhatikan keadaan
kedua belah pihak yang melakukan mudharabah. Sehingga seharusnya, kita dapat
kembali memotivasi diri untuk belajar dan mengetahui tata aturan dalam
mu’amalah sehari-hari.
Allahu A’lam
No comments:
Write comments