Bai’us salam atau jual beli salam adalah akad pemesanan
suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai
pada saat akad berlangsung.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila
dibandingkan dengan jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad)
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah
ditentukan dalam majlis akad
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini
berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai
dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. [al-Baqarah/2:282].
b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu
diriwayatkan :
قَدِمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ
وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ
أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى
أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota
Madinah, penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan
dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo
yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang
kebolehan bai’us salam ini, seperti diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam
al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau t
menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat menyatakan as-salam itu
boleh.”[ Al-Mughni, 6/385]
d. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga
sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh
al-Fauzân –hafizhahullâhu- menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan
jual beli ini boleh. Karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna
dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya
dengan pembayaran tunai sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan
barang dengan harga lebih murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua
pihak.”[ Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 150]
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân
–hafizhahullâhu- mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam)
termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi
hal-hal yang bisa memberikan kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia,
disamping juga bebas dari riba dan seluruh larangan Allâh.[ Al-Mulakhkhashul Fiqhi,
2/60]
Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu :
1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi
2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis
maupun terucap.
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama
menetapkan syarat-syarat sah yaitu :
1. Jual beli ini pada
barang-barang yang memiliki kriteria jelas.
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan
kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan,
barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan
jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan
kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah
pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu
diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman.
Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai
kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab
dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi
kriteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan kriteria yang
disepakati ketika akad.[ Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah
al-Mu’âshirah, 1/197.]
2. Pembayaran dilakukan pada
saat akad (transaksi)
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam
(penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa
pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat
transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda
(dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad
jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan
hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo
setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi
yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan
pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda,
niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat.
Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di
muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang
dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang
sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.”[ I’lâmul
Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/20]
3. Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang
dilakukan saat transaksi berlangsung.
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib
menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah
segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang
serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang.
4. Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas
tempo penyerahan barang pesanan.
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada
kesepakatan tentang tempo penyerahan barang pesanan.
5. Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya
ada dalam tanggung jawab penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah
ditentukan dan terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya.
Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran
atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya
yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari
unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena
faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari
perusahaannya.
Allahu A'lam
No comments:
Write komentar