Istisqa
adalah, meminta hujan kepada Allah Ta’ala. Para ulama mendefinisikan istisqa’
adalah,“Meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan
dan tata cara tertentu.” (Fathul Bari, 2:492)
Istisqa’ ada
dua macamnya:
Pertama, doa
meminta hujan. Diantara contoh doa meminta hujan adalah berikut :
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ
أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا.
.
.
ALLAHUMMA
AGHITSNAA, ALLAHUMMA AGHITSNAA, ALLAHUMMA AGHITSNAA..
Artinya:
“Yaa Allah, turunkanlah hujan kepada kami (3x).” (HR. Muslim)
Atau membaca
doa ini,
اللهم اسقنا غيثًا مُغيثًا، مريئًا
مَريعًا، نافعًا غير ضار، عاجلًا غير آجل
ALLAHUMMASQINAA
GHOITSAN MUGHIITSAA, MARIIAN MARII’AA, NAAFI’AN GHOIRO DHOORRIN, ‘AAJILAN
GHOIRO AAJILIN.
Artinya: “Ya
Allah, berilah kami hujan yang merata, menyegarkan tubuh dan menyuburkan
tanaman, bermanfaat, tidak membahayakan. Kami mohon hujan secepatnya, tidak
ditunda-tunda.” (HR. Abu Dawud)
Kedua,
sholat istisqa’. Yaitu berdoa meminta hujan yang disertai sholat, dengan tata
cara tertentu yang telah diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abbad
bin Tamim bahwa pamannya, Abdullah bin Zaid mengatakan, ‘’Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menuju lapangan untuk shalat istisqa, beliau menghadap
kiblat, shalat dua rakaat, dan membalik kain atasan pakaian beliau, dibalik
bagian kanan diletakkan di sebelah kiri. (HR. Bukhari)
Untuk
Istisqa’ yang wujudnya doa, bisa dilakukan kapanpun, terutama di waktu-waktu
yang mustajab.
Diterangkan
dalam Ensiklopedia Fikih, ‘’Jika Istisqa’ (meminta hujan) hanya dengan berdoa,
maka para ulama sepakat boleh dilakukan kapanpun.’’ (Al-Mausu’ah Al-fiqhiyyah
3/308)
Adapun
Istisqa’ yang jenis kedua, yaitu yang berupa sholat disertai doa Istisqa’, para
ulama berbeda pendapat tentang waktunya. Ada yang berpendapat sholat Istisqa’
dilaksanakan pada:
- Waktu pagi seperti waktunya sholat hari raya ‘ied.
- Waktu pagi seperti waktunya sholat hari raya ‘ied, sampai tiba waktu asar.
- Tidak ada batasan waktu tertentu, boleh pagi, siang ataupun malam. Asal tidak di waktu-waktu yang dimakruhkan melaksanakan shalat.
Tampaknya
pendapat ke-tiga inilah yang paling kuat (rajih). Inilah pendapat yang dipegang
oleh mayoritas ulama (Jumhur). (Lihat : Al-Majmu’ Imam Nawawi, 5/77 dan
(Al-Mausu’ah Al-fiqhiyyah 3/308)
Adapun
waktu-waktu yang dimakruhkan melaksanakan shalat, ada tiga yaitu Setelah subuh,
sampai matahari terbit setinggi tombak (kurang lebih satu meter di atas ufuk). Siang
hari saat matahari tepat di atas kepala, sampai matahari condong ke barat
(zawal). Setelah sholat ashar, sampai matahari terbenam. (Lihat : Majmu’Fatawa
Ibnu’Utsaimin, 14/342)
Dalam
Ensiklopedia Fikih dijelaskan, ‘’Jika meminta hujan berupa sholat istisqa’ dan
doa, maka seluruh ulama sepakat terlarang jika dilakukan pada waktu-waktu yang
dimakruhkan melaksanakan shalat. (Al-Mausu’ah Al-fiqhiyyah 3/308)
Setelah para
ulama sepakat, bahwa sholat istisqa’ tidak boleh dilakukan di waktu yang
makruh, kemudian mayoritas ulama memilih sholat Istisqa’ boleh dilaksanakan
kapanpun selain waktu yang makruh, mereka kemudian berbeda pendapat tentang
waktu yang paling afdol.
Dijelaskan
dalam Ensiklopedia Fikih, ‘’Perbedaan pendapat di mayoritas ulama (jumhur) pada
pembahasan waktu yang paling afdol. Maka selain mazhab Maliki (artinya, mazhab
Hanafi, Syafi’i, Hambali), menyatakan bahwa waktu sholat sholat Istisqa’ yang
paling afdol adalah di mulai sejak waktu dhuha sampai matahari condong ke barat
(zawal). Maka sebaiknya tidak melaksanakannya di waktu sebelum ini atau
sesudahnya. (Al-Mausu’ah Al-fiqhiyyah 3/308)
Wallahua’lam
bis showab.
No comments:
Write komentar