Keponakan
(anak saudara) termasuk mahram, sehingga tidak boleh menikahi keponakan.
Allah
menjelaskan beberapa wanita yang haram dinikahi,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
”Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua).” (QS.
An-Nisa: 23)
Pada ayat di
atas, Allah menyebutkan diantara wanita yang haram dinikahi,
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
”…anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan…”
Dalam hadis
dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah melihat
pamannya membawa bendera.
“Paman mau
ke mana?” tanyaku.
Jawab sang
paman,
أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ
أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ، أَوْ أَقْتُلَهُ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk menangkap seorang lelaki yang
menikahi istri bapaknya setelah bapaknya meninggal, agar aku memenggal
kepalanya. (HR. Ahmad 18557, Nasai 3331, Turmudzi 1362, dan dishahihkan
al-Albani)
Hadis ini
dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa orang yang menikah dengan mahramnya,
maka dia dihukum bunuh.
Ibnul Qoyim
dalam Zadul Ma’ad menyatakan,
وقد نص أحمد في رواية إسماعيل بن سعيد
في رجل تزوج امرأة أبيه أو بذات محرم فقال : يقتل ويدخل ماله في بيت المال
Imam Ahmad
menegaskan, menurut riwayat Ismail bin Said, tentang orang yang menikahi istri
ayahnya atau wanita mahramnya, Imam Ahmad mengatakan, ‘Dia dibunuh dan harta
dirampas negara.’ (Zadul Ma’ad, 5/13).
Sementara
menurut sebagian ulama hanafiyah, mereka dihukum sebagaimana hukuman pezina,
yaitu rajam atau cambuk 100 kali.
فَذَهَبَ قَوْمٌ إلَى مَنْ تَزَوَّجَ
ذَاتَ مَحْرَمٍ مِنْهُ وَهُوَ عَالِمٌ بِحُرْمَتِهَا عَلَيْهِ ، فَدَخَلَ بِهَا
أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الزَّانِي ، وَأَنَّهُ يُقَامُ عَلَيْهِ حَدُّ الزِّنَا
الرَّجْمُ أَوْ الْجَلْدُ… وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَبُو يُوسُفَ
وَمُحَمَّدٌ رَحِمَهُمَا اللَّهُ
Sebagian
ulama berpendapat bahwa orang yang menikahi mahramnya, dan dia tahu bahwa itu
mahramnya, lalu dia melakukan hubungan badan dengannya, maka hukuman untuknya
sama dengan hukuman bagi pelaku zina. Dia diberi hukuman had zina, rajam atau
cambuk… diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan rahimahumallah. (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/101).
Apapun itu,
intinya dari perselisihan di atas, ulama memberikan hukuman berat, bagi orang
yang nekat menikah dengan mahramnya, padahal dia tahu itu dilarang.
Allahu
a’lam.
No comments:
Write comments